
Pekanbaru,- Galipakta.id – 02 Oktober 2025 Seorang pekerja PT. CMP (Citra Matra Perkasa), perusahaan yang bergerak di bidang pembibitan akasia berlokasi di Jalan Mes Supir, Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, mengaku kecewa atas sikap perusahaan yang diduga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa memberikan hak-haknya sesuai ketentuan hukum ketenagakerjaan.
ORY, pekerja yang telah bekerja sejak tahun 2022, menyampaikan bahwa dirinya diberhentikan secara lisan oleh pengurus lapangan tanpa adanya surat peringatan resmi maupun alasan yang jelas. “Saya bekerja tiga tahun di PT. CMP, tapi tiba-tiba di-PHK tanpa penjelasan. Hak saya belum diberikan sesuai aturan,” ujar ORY.
Mengacu pada PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, khususnya:
Pasal 40 ayat (1): Pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Pasal 43 ayat (1): Jika PHK dilakukan karena efisiensi, pekerja tetap berhak atas pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak.
Namun, hingga kini ORY mengaku tidak menerima hak-hak tersebut.
Selain itu, persoalan lain muncul terkait BPJS Ketenagakerjaan. Dari catatan ORY, selama tiga tahun bekerja, saldo BPJS TK hanya tercatat sebesar Rp1.800.000. Ia menduga perusahaan tidak menyetorkan iuran BPJS secara penuh. Padahal sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Pasal 19 ayat (1) dan (2) mewajibkan pemberi kerja untuk memungut serta menyetorkan iuran pekerja dan tanggungannya kepada BPJS. Jika melanggar, Pasal 55 UU 24/2011 menyebutkan perusahaan dapat dikenakan pidana penjara hingga 8 tahun atau denda maksimal Rp1 miliar.
Tak hanya itu, pekerja juga menyinggung soal Tunjangan Hari Raya (THR) yang selama bekerja hanya dibayarkan sebesar Rp600.000. Padahal, menurut Permenaker Nomor 6 Tahun 2016, PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perusahaan wajib membayar THR sesuai ketentuan masa kerja dan upah yang berlaku.
ORY mengaku sudah melaporkan masalah ini ke Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Siak. Setelah dilakukan pemanggilan dua kali, mediasi tidak menemukan kesepakatan. Pihak perusahaan hanya menawarkan kompensasi sebesar Rp2.500.000, yang dinilai tidak sebanding dengan hak-hak pekerja.
“Pihak Distransnaker Siak melalui Pak Fauzi menyarankan saya melanjutkan laporan ke tingkat provinsi,” kata ORY.
Pada 02 Oktober 2025, ORY resmi mendatangi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau untuk mencari keadilan. Ia berharap pengawas ketenagakerjaan Provinsi Riau menindaklanjuti dugaan pelanggaran normatif ini serta menjatuhkan sanksi kepada perusahaan agar pekerja lain tidak mengalami hal serupa.
(Yusman Gea)